Pencarian Jati Diri Seorang Manusia Berkelamin Ganda
Seorang bayi perempuan bernama Calliope lahir di Detroit pada 1960. Setelah empat belas tahun menjalani kehidupan sebagai anak perempuan normal, dia berubah menjadi Cal, seorang remaja laki-laki. Bertahun-tahun kemudian, sebagai seorang pria dewasa, Cal Stephanides menuliskan kisah metamorfosanya untuk dunia.
Untuk menguraikan perbedaan dirinya dari manusia lain, Cal mengajak kita kembali ke masa silam, ke sebuah desa kecil di Asia Minor, menjadi saksi sebuah pembantaian rasial, berhadapan dengan tonggak industrialisasi Amerika, melewati berbagai perubahan zaman yang mencengangkan bersama tiga generasi sebuah keluarga Yunani-Amerika.
Melalui Middlesex, sebuah prosa yang indah, tajam, sekaligus jenaka, Jeffrey Eugenides mengukuhkan diri menjadi salah seorang penulis terbesar pada masa ini.
***
Sebuah novel tentang seorang dengan kelamin ganda, Calliope ‘Cal' Stephanides, yang tumbuh besar di sebuah suburbia di Detroit tahun 60- dan 70-an. Kisah Callie dirajut dalam sebuah epos tentang keluarga Callie yang imigrasi dari Yunani dan kerap menikahi saudara sendiri sampai sejarah industrialisasi di Amerika, termasuk kebangkitan Ford Motors sampai huru-hara rasial tahun 1967. Pendeknya, dalam kata-kata narator sendiri: “kisah berliku-liku sebuah gen dari waktu ke waktu.”
Narator adalah seorang yang cerdas, fasih berbahasa, penuh humor, dan selalu mencari cara-cara baru untuk mengungkapkan emosinya (“Nyanyikan, O Muse, tentang kromosom kelima-ku yang bermutasi resesif”—sebuah pun dari kalimat pertama epos agung Iliad ). Seringkali suaranya terdengar datar di permukaan, namun tersirat tragedi di dalamnya. Bukan tragedi yang berteriak-teriak atau merintih-rintih, melainkan sebuah tragedi di mana si penderita sekadar meneruskan hidup tanpa minta dikasihani atau dikagumi. Justru karena itulah, kita semakin empati terhadap si narator.
Bahkan di adegan-adegan yang sangat dramatis, seperti ketika tokoh ditelanjangi dan dipukuli, reaksinya hanya “Lebih daripada apa pun, aku ingin menelepon rumah. Malahan aku menelepon Bob Presto. Dia bilang dia akan segera menjemputku.” Ia tidak mengutuki nasib atau menyumpahi orang-orang yang memukulinya, tetapi kita justru tahu betapa ia sudah putus asa, betapa kesepiannya ia, sehingga dalam keadaan tersakiti seperti itu pun ia tak bisa menelepon orangtuanya sendiri, dan hanya seorang temanlah yang bisa diandalkannya.
Kita hanya bisa bertanya-tanya, seberapa besar penderitaannya sehingga ia seolah sudah kebal akan rasa sakit, malu, dan rasa murka terhadap dunia. Dari cara penulisannya yang tenang dan tidak histeris, kita mendapat gambaran tentang kesepiannya yang mendalam, lukanya yang demikian pedih, dan kejamnya dunia yang membuat setiap orang yang berbeda merasa terasing, bukannya bangga akan keunikannya. (“Trauma di ruang ganti mulai terlepaskan. Rasa malu akan tubuh yang tak seperti tubuh-tubuh lain perlahan berlalu. Perasaan diri bagai monster pun pudar. Dan bersama rasa malu dan benci akan diri sendiri, sebuah luka lain pun mulai sembuh.”)
0 komentar:
Posting Komentar